Headlines

Kamis, 03 September 2015

Unknown

Tentara dan Rakyat

Militer Venezuela: Menciptakan Suatu Penyimpangan (1)


Oleh Marta Harnecker (2)

Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez Frias, seorang mantan perwira militer, sebuah “proses revolusioner Bolivarian tengah berlangsung di Venezuela, terutama sejak Chavez memenangkan pemilu presiden pada tahun 1998. Ketika perubahan progresif yang sejati tengah berlangsung, Chavez selain dibenci negara-negara kaya dan berkuasa, “revolusi Bolivarian” tersebut juga ditolak oleh beberapa kalangan kiri. Penyebabnya tak lain karena revolusi tersebut dipimpin oleh seorang perwira militer, dan karena militer memainkan peran signifikan dalam proses perubahan tersebut. Selain itu, militer juga memainkan peranan penting di sejumlah lembaga negara dan lembaga perencanaan pemerintah.

Alasan bagi penolakan tersebut adalah standard kebijaksanaan kiri bahwa militer adalah bagian integral dari mesin penindas negara borjuis. Militer selalu dan pasti dipengaruhi oleh ideologi borjuis dan, oleh karena itu, tidak layak memainkan peran revolusioner dalam masyarakat kapitalis. Tetapi, mungkin itu adalah sebuah penafsiran yang mekanistik. Adalah lebih baik jika kita menghindari jeneralisasi dan menganalisa militer di setiap negeri dalam realitas khususnya. Jika kita mengambil pendekatan tersebut, yang kita lihat adalah bahwa militer Venezuela tidak memainkan peran negatif. Selama lebih dari empat tahun, militer menduduki ruang-ruang kunci dalam kancah perpolitikan Venezuela, dan mereka membela keputusan-keputusan yang dibuat secara demokratik oleh rakyat Venezuela. Mereka juga merupakan aktor dominan dalam mendukung Chavez kembali ke tampuk kekuasaan setelah dikudeta pada April, 2002, oleh sekelompok perwira tinggi senior—banyak di antara mereka yang mengetahui dirinya sebagai tentara yang tidak berada dalam posisi kememimpinan, tunduk di hadapan kepentingan-kepentingan utama percobaan kudeta. (3)

Di samping itu, personil militer juga memimpin proyek-proyek sosial yang penting yang diorgansir oleh pemerintah. Mereka ditempatkan berdasarkan kemampuan kerjanya, keahlian teknisnya, dan pengetahuan organisasi guna melayani sektor-sektor miskin dalam masyarakat. Yang paling penting adalah tanggung jawab mereka dalam menyukseskan Plan Bolivar 2000, sebuah program yang bertujuan meningkatkan standar hidup kelompok miskin, melalui, di antara hal-hal lainnya, membersihkan jalan dan sekolah, meningkatkan kelestarian lingkungan untuk memerangi penyakit endemik, dan memperbaiki infrastruktur sosial baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tujuan dari Plan adalah menemukan solusi terhadap permasalahan-permasalahan sosial seperti pengangguran dan menggabungkan organisasi-organisasi komunitas dalam usaha bersama memecahkan masalah yang ada.

Juga penting dicatat, Plan tersebut baru digelar pada tahun pertama Chavez berkuasa, tahun-tahun ketika ia harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang sangat tidak menguntungkannya (4). Sebagian besar para gubernur dan walikota adalah anggota kelompok oposisi dan, pada saat yang sama, Parlemen Nasional dan Mahkamah Agung juga berseberangan jalan dengannya (5). Dengan perimbangan kekuatan yang timpang itu, kader-kader politik Chavez memutuskan bahwa tugas pertama dan mendesak adalah dalam lapangan politik, yakni menuntut amandemen konstitusi agar memungkinkan menerapkan mandat popularnya dan, serangkaian dengannya, melakukan pemilihan untuk memperbarui mandat tersebut.

Kemenangan Chavez adalah hasil dari harapan rakyat yang sangat tinggi, dan karena itu secepatnya dibutuhkan tindakan-tindakan untuk segera memenuhi aspirasi-aspirasi rakyat. Satu-satunya aparatus yang memiliki struktur nasional dan layak untuk menjalankan misi presiden Chavez (di samping gereja Katolik) adalah militer.

Angkatan darat Venezuela, khususnya perwira-perwira muda, melaksanakan tugas-tugasnya dalam memmbangun kembali masyarakat dengan sangat antusias. Mereka terlibat langsung dengan problem-problem yang diderita oleh kelompok yang sangat miskin dan, secara mendalam, terlibat dalam penyelesaian masalam-masalah rakyat miskin. Perwira-perwira militer tersebut kini merupakan sektor yang sangat radikal dalam proses revolusi Bolivarian.

Gejala peran aktif militer di Venezuela tersebut, tidaklah umum terjadi di kawasan Amerika Latin. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan: “mengapa militer Venezuela memberikan dukungan yang kuat terhadap proses transformasi sosial besar-besaran dan juga terlibat aktif dalam penyelesaian masalah-masalah rakyat miskin?” Analisis selanjutnya didasarkan pada wawancara-wawancara terkini dengan sembilan perwira angkatan darat Venezuela. Wawancara dan analisis tersebut kini telah diterbitkan dalam sebuah buku: “Venezuela: Militares Junto al Pueblo.” (6).

Terdapat sejumlah faktor yang membedakan personil militer Venezuela dari rekan-rekannya di kawasan Amerika Latin lainnya. Pertama, militer Venezuela sangat dipengaruhi oleh filosofi Simon Bolivar, figur paling terhormat di Amerika Latin dalam perjuangan pembebasan nasional dari penjajahan Spanyol. Meskipun Bolivar tidak pernah berbicara tentang perjuangan kelas, ia menuntut agar perbudakan segera dihapuskan dan, dalam karya-karyanya, ia selalu menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan rakyat banyak. Sumbangan terbesarnya, mungkin, adalah pemahamannya tentang pentingnya integrasi Amerika Latin. Ia, sedari awal, telah mengerti bahwa negerinya tidak akan memiliki masa depan kecuali mereka bergabung dalam perjuangan melawan negeri-negeri Eropa dan Amerika Serikat. Setelah dua dekade abad ke-19, ia meramalkan bahwa “atas nama kebebasan, Persatuan Negara-negara Amerika Utara tampaknya telah ditakdirkan melalui pelestarian wabah kemiskinan”. Bolivar juga percaya bahwa demokrasi mengandung sebuah sistem politik yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada rakyat. Menurut Bolivar, tak ada militer yang ingin menggunakan senjatanya dengan maksud menentang rakyat.

Kedua, sebelum generasi Hugo Chavez, sebagian besar perwira militer memperoleh latihan tidak hanya di sekolah-sekolah Amerika Serikat, yang keji dan brutal, tapi juga dilatih di Akademi Militer Venezuela. Pada 1971, di bawah rencana Andres Bello Plan, akademi militer mengalami perubahan secara radikal, dengan menempatkan statusnya sejajar dengan universitas. Dengan adanya perubahan tersebut, kader-kader militer diharuskan belajar ilmu politik dan membaca tulisan tentang demokrasi serta tentang realitas Venezuela. Dalam kelas strategi militer, mereka mempelajari Clausewitz, strategi-strategi militer Asia dan strategi militer Mao Zedong. Para mahasiswa tersebut acapkali melanjutkan pendidikannya ke universitas untuk mengambil spesialisasi dan bertukar pengalaman dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang non-militer. Jika beberapa dari mereka belajar ke Amerika Serikat, mereka telah dibentengi dengan gagasan-gagasan progresif.

Ketiga, perwira militer generasi Chavez tersebut, tidak pernah menghadapi kekuatan gerilya yang besar sebagaimana militer di negara Amerika Latin lainnya. Sebaliknya, ketika dilatih pada 1970-an, saat itu militer Venezuela dalam seluruh tindakannya bersifat pasif dan hanya ada sedikit sel-sel gerilya yang aktif. Ketika tentara melakukan patroli di wilayah pertanian di perbatasan, apa yang mereka temukan bukanlah sebuah kekuatan gerilya melainkan kemiskinan. Mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa terdapat kesamaan ideologi di kalangan elite Amerika Latin—bahwa rakyat miskin menjadi semakin miskin karena mereka pemabuk, karena mereka tidak memiliki inisiatif atau tidak mau bekerja, karena mereka bodoh. Suatu kepercayaan yang salah. Para prajurit tersebut mulai memahami bahwa di balik kemiskinan tersebut berdiri tegak oligarki yang menumpuk kekayaan bangsanya yang, bersama Amerika Serika, terus menyebarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pembiakan kemiskinan di seluruh negeri.

Keempat, tidak ada diskriminasi dalam tubuh angkatan darat Venezuela; setiap orang berpeluang merengkuh pangkat tertinggi. Juga tidak seperti di negara lain, di Venezuela tidak ada kasta dalam militer. Sebagian besar dari pejabat-pejabat militer senior adalah anak miskin perkotaan dan dari keluarga petani; dan berdasarkan pengalamannya, mereka tahu bahwa rakyat menjalani kehidupan yang sulit setiap harinya. Tentu saja, tidak berarti karena mereka berasal dari keluarga yang sederhana, mereka kebal terhadap kooptasi oligarki melalui sebuah manuver yang canggih, khususnya ketika secara tak terelakkan terjalin hubungan di antara oligarki tersebut dengan pejabat militer yang berpangkat tinggi. Beberapa perwira militer lupa dengan asal-usul sosialnya dan kemudian takluk di bawah kepentingan kelas dominan.

Kelima, faktor yang berdampak pada generasi Chavez tersebut adalah pergolakan sosial yang terjadi pada 27 Februari, 1989. Pergolakan tersebut bertujuan untuk menolak langkah-langkah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dipaksakan oleh pemerintahan Carlos Andres Perez yang, antara lain, harus mengurangi belanja publik, deregulasi harga, liberalisasi perdagangan, promosi investasi asing, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Penyebab utama pemberontakan rakyat itu adalah meningkatnya biaya transportasi umum yang dipicu oleh tingginya harga bensin. Rakyat dari keluarga miskin turun ke jalan-jalan dan mulai membakar bis, menjarah pusat perbelanjaan, dan menghancurkan toko-toko serta supermarket. Militer pun datang untuk mengembalikan “ketertiban”. Pemberontakan yang kemudian dikenal dengan istilah “Caracazo”, karena tempatnya berlokasi di pusat ibukota (walaupun pergolakan yang sama juga terjadi di beberapa kota lainnya) berakhir dengan sebuah pembantaian besar-besaran. (7) Peristiwa tersebut menjadi sangat penting dalam membentuk kesadaran politik baru di kalangan perwira-perwira yunior.

Keenam, bahkan sebelum Caracazo, kesenjangan kemakmuran yang sangat luar biasa di Venezuela, kesenjangan yang diperkuat oleh perilaku korupsi, telah menghalangi negeri itu untuk menyelesaikan masalah-masalah sosialnya, meskipun boom minyak sanggup mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Kondisi tersebut menumbuhkan (dalam tubuh militer) sebuah arus perubahan yang bergerak menentang kemapanan (status quo). Pada Desember, 1982, arus tersebut berkembang menjadi sebuah gerakan bawah tanah yang disebut Movimiento Bolivariano Revolucionario 200, yang pertama-tama berkembang di kalangan internal militer dan akhirnya menjangkau sektor sipil.

Gerakan tersebut memperoleh inspirasi dari tiga sumber utama: Simon Bolivar, Simon Rodriquez, and Ezequiel Zamora. Kita telah membicarakan tentang sosok Bolivar. Simon Rodriquez adalah seorang guru dan teman Bolivar, seorang pendidik yang baik dan pembaru yang gigih dalam membela keaslian Amerika Latin yang multi-etnik. Ia berpendapat, dibutuhkan pengintgrasian masyarakat adat dan budak hitam ke dalam masyarakat masa depan benua tersebut. Rodriquez adalah seorang penganjur utama bagi diciptakannya lembaga-lembaga asli untuk disesuaikan dengan dunia kita sendiri, dan ia menolak peniruan solusi-solusi Eropa, dengan meyakinkan bahwa “Kita harus mencipta atau kita keliru”. Sedangkan Ezequiel Zamora adalah seorang jenderal liberal yang berjuang menentang konservatisme selama perang federal pada tahun 1850. Ia juga mendorong perjuangan sampai mati menentang oligarki dan pembagian tanah kepada petani hanya berdasarkan kemurahan hati tuan tanah.

Caracao mempercepat rencana Movimiento muda dan, tiga tahun kemudian, pada tanggal 4 Februari, 1992, diorganisirlah sebuah pemberontakan militer melawan presiden Perez. Tetapi gerakan tersebut berakhir dengan kegagalan. Namun demikian, dari gerakan tersebut lahirlah seorang Hugo Chavez Frias, yang saat itu berpangkat letnan kolonel dan merupakan pemimpin utama Movimiento, sebagai pusat dari seluruh pertunjukan teater nasional bangsanya. Pemimpin yang kharismatik hanya membutuhklan dua menit tayang di televisi untuk mencatatkan personalitasnya ke dalam pikiran rakyat. Dalam ruang yang singkat itu, ia menyampaikan pertanggungjawabannya atas peristiwa tersebut dalam sebuah ngeri di mana tak ada pemimpin lainnya, sebelum dirinya, yang menyerap sikap yang demikian memesona. Ia menyerukan kepada para pemberontak untuk menyerah tapi, ia menekankan dalam bahasa yang masyhur, “Waktunya akan tiba!” Itu adalah pesan yang jelas kepada rakyat bahwa ia tidak akan menyerah dalam perjuangan. Terima kasih kepada sikapnya itu karena ia telah membangun opini positif di kalangan rakyat sekelilingnya, di sebuah negeri dimana skeptisisme politik dan para politisi gadungan bertebaran di masyarakat, termasuk kelas menengah.

Komitmen awal Chavez tersebut telah meratakan jalan bagi kemenangannya dalam pemilu presiden pada tahun 1998. Dalam pemilu tersebut, ia diterima baik oleh banyak temannya di militer, yang menjadikan militer Venezuela menjadi unik—karena kini mereka dalam posisi yang diuntungkan dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan baru. Sambil jalan, militer terus memperbaiki kebanggaannya dan mengatasi prasangka negatif yang tertanam akibat peristiwa Caracazo. Dengan dukungan Chavez dan program-programnya, militer diperkenankan untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari di sekolahnya. Dari pengalaman praktek itulah mereka lalu bertransformasi dari pendukung oligarki menjadi pembela sistem demokrasi.

Di banyak negeri Amerika Latin, setiap usaha untuk melakukan transformasi sosial yang besar harus berhadapan dengan keberadaan hukum yang sangat kompleks, di mana tujuannya adalah melindungi sistem tersebut dari setiap perubahan yang berdampak pada kepentingan kelas berkuasa. Untuk menghancurkan penghalang tersebut, agar terjadi perubahan di Venezuela, tugas pertama dari pemerintahan yang baru terpilih adalah mengumumkan sebuah proses demokratik untuk mengubah aturan main warisan masa lalu yang terbukti berdampak pada negara baru. Aturan main yang baru itu berupa sekumpulan institusi yang memungkinkan perubahan sosial terjadi. Maka sebuah Dewan Konstitusi pun dibentuk pada tahun1999 dengan beranggotakan 131 orang. Dewan tersebut akan bekerja selama enam bulan dan akhirnya mengusulkan sebuah rancangan bagi konstitusi baru, yang kemudian disetujui oleh mayoritas lebih suara (129 suara). Rancangan tersebut kemudian diusulkan kepada rakyat Venezuela, dimana hasilnya 70 persen menyatakan setuju.

Konstitusi baru tersebut berpusat pada keadilan sosial, kebebasan, partisipasi politik rakyat, perlindungan terhadap warisan nasional (yang berdampak menjadi oposisi terhadap neoliberalisme), dan memperkukuh kedaulatan nasional Venezuela. Prinsip kesamaan di bawah hokum, termasuk masyarakat adat—dimana kini mereka memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan etnisnya, identitas budaya, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, dan tempat-tempat suci, termasuk praktek-praktek pemujuaannya. Mungkin aspek yang terpenting dari pengalaman penyusunan konstitusi ini adalah bahwa inlah “Magna Charta” yang memperkenalkan konsep tentang kedaulatan rakyat.

Seluruh warga Negara, lelaki dan perempuan, memiliki hak untuk bebas berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa publik, apakah langsung atau melalui perwakilan mereka yang terpilih, lelaki atau perempuan. Penerapan partisipasi rakyat dan kontrol terhadap administrasi publik dibutuhkan untuk menjamin secara penuh pembangunan kolektikf dan individu. Negara menjaminnya dan masyarakat bertugas memberikan sumbangan bagi terbukannya jalan untuk kondisi-kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaannya.

Selanjutnya, konstitusi menyatakan “pemilih memiliki hak untuk menerima (dari perwakilan publik mereka) laporan yang transparan secara periodik mengenai apa yang mereka kerjakan, dan di mana program itu harus ditindaklanjuti kepada publik.” Pemilih secara empatik menuntut penghormatan kepada bangsa dan kedaulatannya, lebih jelasnya menolak pangkalan militer asing. Itu juga berarti deklarasi tentang kebutuhan bagi sistem peradilan yang benar-benar netral, penyelenggaraan keadilan tanpa harus diusulkan kepada pemimpin lembaga peradilan atau birokrat. Dalam kasus masyarakat adat, otoritas mereka diakui melalui penerapan hukum-hukum lokal di basis di mana mereka memiliki kepercayaan tradisional yang diwariskan, mengikuti aturan main mereka, agar mereka tidak bertentangan dengan konstitusi. Hakim harus dipilih setelah melalui proses seleksi berdasarkan kepantasan seluruh partisipan. Oleh karenanya, hukum harus menjamin partisipasi seluruh warga negara dalam proses pemilihan dan penentuan nama hakim. Eksekutif nasional bertugas memberikan laporan tahunan kepada dewan tentang politik, ekonomi, sosial dan aspek-aspek administratif dalam pekerjaannya. Deputi juga harus melaporkan kembali kepada pemilih mereka dan menjawab pertanyaan mereka, sehingga rakyat memiliki kontrol permanen walaupun pemilu telah berakhir.

Di samping tiga cabang kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), konstitusi juga menciptakan dua cabang lainnya: kekuasaan warganegara dan kekuasaan elektoral. Yang pertama diterapkan melalui Republican Ethics Council (dewan etika republik), terdiri dari Pembela rakyat, Jaksa Penuntut Umum dan Pengawas Umum Republik. Dewan Nasional harus disetujui oleh anggota. Pembela rakyat bertanggung jawab atas promosi, pertahanan, kontrol dan jaminan bagi ditegakkannya konstitusi melalui pengakuan warga negara secara kolektif atas kepentingan sebagian lainnya. Kekuasaan elektoral ditegakkan melalui Dewan Pemilu Nasional, yang bertindak sebagai wasit/arbriter untuk mengontrol pemilu dan menjamin transparansi pelaksanaannya.

Konstitusi tersebut merupakan sekutu terbesar revolusi Chavez. Itu karena, sebagaimana yang kita lihat, militer Venezuela menjalankan secara serius tugasnya untuk membela apa yang diputuskan rakyat secara demokratis. Sekali militer berkomitmen untuk membela konstitusi, seterusnya ia akan berkomitmen untuk membela perubahan yang dilakukan Chavez. Dengan demikian, perubahan dan konstitusi baru itu selaras. Ketika militer garis lama mencoba menggerakkan kudeta melawan Chavez pada 2002, Jenderal Baduel, seorang yang secara tegas mengajurkan militer untuk menghormati aturan main hukum, berhasil menggunakan otoritasnya berdasarkan konstitusi baru untuk menolak perintah yang diberikan oleh komandannya yang memberontak. Konstitusi yang sama juga digunakan oleh perwira yunior dan prajurit ketika mereka mengorganisir perlawaman (dari bawah) menentang kudeta dan tekanan komandan mereka untuk bergabung dalam barisan kudeta.

Kita bisa mencatat dua poin terakhir dalam usaha kita menjelaskan keunikan militer Venezuela. Program ekonomi Chavez adalah sebuah program yang berwatak nasionalistik. Program tersebut jelas berlawanan dengan kebijakan neoliberal, globalisasi yang berorientasi asing. Ia, sebaliknya, bertujuan memajukan investasi nasional dan pembangunan lokal. Program tersebut juga bertentangan dengan privatisasi di sektor minyak, dan mencoba memberikan prioritas bagi penyelesaian-penyelesaian yang diderita oleh bagian termiskin masyarakat. Lebih dari itu, keseluruhan program tersebut sangat cocok dengan pekerjaan militer yakni pembela kedaulatan dan kemakmuran nasional. Itulah yang membuat kita mudah untuk memahami mengapa aksi-aksi menentang Chavez –pemogokan oleh pekerja lapisan menengah dan sabotase produksi minyak—berhasil digagalkan secara masif oleh angkatan darat. Seterusnya, momen tersebut digunakan militer untuk mengonsolidasikan dukungannya kepada program-program Chavez.

Akhirnya, yang tak kalah pentingnya adalah kharisma personal Chavez sendiri yang sulit diperkirakan. Chavez merupakan inspirasi terbesar yang mendatangkan kekaguman dan rasa cinta di kalangan prajurit-prajurit angkatan darat. Dirinya, baik secara legal dan emosional, adalah komandan tertinggi mereka. Selama kudeta April, 2002, tepatnya pada jabatan dan ingatan tentara—dimana ia bertemu dengan para pengunjungnya dari penjara ke penjara, dari Tiuna ke kepulauan Orchila, tempat terakhir ia dipenjara—ia berhasil memperlihatkan daya juangnya yang mengagumkan.

Bersama dengan rakyat, dan kerapkali atas dorongan mereka, militer Venezuela merupakan sedikit dari militer di Amerika Latin yang mampu bertindak secara matang. Dan dalam proses tersebut, mereka merasa sederajat dalam menghadapi tantangan luarbiasa yang dihadapi oleh kaum revolusioner Bolivarian.


La Havana, 1 April, 2003


Catatan:

1. Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Marta Harnecker, dengan judul asli The Venezuelan Military: The Making of an Anomaly, oleh Coen Husain Pontoh, dan diedit oleh Danial Indrakusuma. Sebelumnya dimuat dalam jurnal Monthly Review, September, 2003, dalam http://www.venezuelanalysis.com/artiKTes.php?artno=1040.

2. Marta Harnecker adalah Direktur of the Centro de Investigaciones Memoria Popular Lationamericana (MEPLA) di Havana, Cuba, sebuah organisasi yang melakukan penelitian tentang sejarah gerakan rakyat di Amerika Latin. Ia juga adalah penulis sejumlah buku dan artikel tentang gerakan kiri di Amerika Latin, termasuk Understanding the Venezuelan Revolution: Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker, yang diterbitkan oleh Monthly Review Press.

3. Tak banyak yang tahu bahwa hanya perwira-perwira senior yang memiliki posisi riil, seperti komandan staf umum angkatan darat, Ramirez Perez, dan komandan umum angkatan darat, Vasquez Velasco, yang terlibat dalam kudeta ini. Beberapa jenderal menolak mendukung kudeta, jumlah mereka sekitar 200 hingga 8.000 perwira (jenderal, admiral, kolonel, letnan kolonel, dan perwira rendah). 80 persen perwira komando berpartisipasi dalam Plan untuk menyelamatkan Chavez.

4. Plan ini diumumkan secara terbuka pada 27 Februari, 1999, sepuluh tahun setelah Caracazo.

5. Pemilihan gubernur dan walikota dilaksanakan setahun sebelum pemilihan presiden.

6.Marta Harnecker, Militares Junto al Pueblo, Vadell hnos., Caracas, 2003. Liha versi Inggrisnya dalam www.rebelion.org/harnecker.htm.

7. Jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui. Sejumlah pejabat pemerintahan mengakui bahwa sekitar 372 orang mati terbunuh, tapi organisasi hak asasi manusia mencatat lebih banyak lagi, yakni 5.000 orang.

Dikutip dari catatan Bung Danial Indrakusuma.


Jakarta. 3 September 2015



Andreas Soge

Kamis, 28 Mei 2015

Unknown

Selamat Jalan Kene Dolu Wruin.



Sosok yang satu ini sangat saya kenal bukan saja karena pertalian Kekeluargaan yang begitu erat antara Kene Dolu dengan Kami tetapi Pria yang hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) ini bisa dikatakan fenomenal karena Menjadi Kepala Desa baik itu saat Basira/Walang masih tergabung dalam Desa Latonliwo maupun saat Basira defenitif menjadi Desa mandiri Desa Patisira Walang. Selepas menjabat Kepala Desa Latonliwo Kene Dolu memutuskan untuk merantau ke Tewau Malaysia. Alasan yang mendasari kepergiannya ke Malaysia untuk membiayai pendidikan Putri – putrinya. Dari pernikahannya dengan Ema Belen Koten Kene Dolu dikaruniai 5 orang Putri (Rase, Lenek, Dari, Yanti dan Mini).

Sepulangnya dari Malaysia Kene kembali menjalani kehidupan sebagai Petani, namun peristiwa Gempa Bumi tahun 1992 dimana Dua Dusun dari Desa Latonliwo yakni Dusun Hurit dan Dusun Tone direlokasi ke daerah Kneleng yang kemudian menjadi Desa Patisira Walang dimana beliau kembali diminta masyarakat untuk kembali memimpin masyarakat sebagai Kepala Desa Patisira Walang. Kembali menjadi Kepala Desa menjadi sebuah pengalaman tersendiri karena saat itu Masyarakat dalam proses Recovery/pemulihan dari bencana gempa yang meluluhlantakan perkampungan – perkampungan di Pantai Utara Tanjung Bunga tak terkecuali Masyarakat Desa Latonliwo pada waktu itu. Setelah tidak menjabat lagi sebagai Kepala Desa Patisira Walang Kene Dolu memilih menetap di Kebun Mentenya tidak jauh dari Lewo Basira.

Sejak saya memilih meninggalkan Kampung halaman tahun 1989 komunikasi saya dengan Kene Dolu terputus sama sekali. Saya hanya mengikuti kabar tentang Kene Dolu dari cerita saudara sekampung saat saya pulang mengunjungi Kampung kelahiran. Keinginan berinteraksi dengan Kene Dolu tercapai saat kunjungan Pak Melchias Markus Mekeng Anggota DPR RI ke Basira pada tanggal 1 November 2013 lalu dan sejak itu setiap kepulangan saya selalu mengunjungi Beliau di Tempat tinggalnya untuk bertukar cerita antar Bapak dan Anak. Banyak perbedaan yang kami temukan dalam diskusi terutama dalam soal rekonsiliasi dengan saudara – saudaranya yang berkonflik dengan dirinya. Sebagai ponakan yang sangat dia sayang walau kami berdua berbeda pandangan dalam soal rekonsiliasi dengan saudara – saudaranya kami berdua tepap berhubungan baik, ini terlihat dari setiap kali saya kembali mengunjungi Kampung halaman Kene selalu berpesan agar saya menyempatkan diri mengunjunginya.

Ketika bulan November 2014 lalu saat saya pulang karena Bapak sakit hingga meninggal saya beberapa kali ke Tempat Kene Dolu tetapi buat saya saat Kene melakukan kegiatan Hamang Tahang (Injak Padi) dan Gewalik Hora menjadi pertemuan yang sangat istimewa. Dua kegiatan adalah kegiatan tradisi atas hasil panen. Pertanyaannya kenapa Hamang Tahang baru dilakukan pada bulan November? Pertanyaan ini terjawab bahwa Tahang/Padi hasil panen tahun 2013 belum habis dikomsumsi sehingga hasil panen 2014 baru di Hamang pada bulan November 2014. Dalam kegiatan ini selain kami bercerita tentang hidup dan kehidupan tetapi juga bercerita tentang kenangan kami dengan Bapak yang baru berpulang. Setiap kali bercerita tentang kenangan dengan Bapak Kene selalu berurai Air mata. Begitu dekatnya Kene dengan Bapak membuat kami semua baik saya dan saudara – saudara saya serta anak – anak Kene sangat dekat seperti saudara kandung.

Belum hilang kesedihan kami atas berpulangnya Bapak tepat hari dimana Umat Kristen di seluruh Dunia merayakan Natal kami kembali  dirundung duka dengan berpulangnya Nene Sabu Tukan Mama dari Kene Dolu. Peristiwa itu mengaharubirukan perasaan saya karena konflik diantara Kene dan saudara – saudaranya sempat mengemuka membuat suasa perkabungan menjadi tidak mengenakan. Sebagai anak saya sempat protes kepada mereka berlima (Kene Dolu, Kene Koda, Kene Pati, Kene Suda dan Kene Latu) minus dua saudari mereka dan Kene Geroda saudara mereka yang ada di Leti Maluku Tenggara serta Ade Bungsu mereka Kene Bala yang saat itu sedang berada di Kalimantan Timur. Walaupun saya sempat melakukan protes namun kewajiban sebagai Cucu Almarhum tetap saya dan adik – adik lakukan dengan melayani khalayak pelayat dan prosesi pemakaman dengan baik. Saat di Makam saya diminta mewakili Keluarga menyampaikan sambutan singkat, suana hati saat ini sempat membuat saya bersedih. Inilah kenangan terakhir saya dengan Kene Dolu.

Hari Rabu 27 Mei 2015 saya mendapat telpon dari Stef Sake Kelen sepupuku yang mengabarkan bahwa Kene Dolu masuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Larantuka sejak hari Senin 25 Mei 2015 dengan penjelasan bahwa Kene dilarikan ke RSUD Larantuka dalam keadaan tak sadarkan diri hingga saya mendapat informasi itu. Dalam komunikasi saya dengan salah satu Menantunya saya ketahui bahwa Kene mendapat serangan Jantung pada Senin dini hari pukul 02.00. Dari komunikasi itu akhirnya saya tahu Kene sulit disembuhkan, hanya keajaiban saja yang bisa menyembuhkan Kene.

 Dari informasi yang saya dapat membuat malamnya saya sulit memejamkan mata, pikiran saya menerawang mengingat kembali saat Bapak menjemput Ajalnya dihadapan kami anak – anaknya pada bulan November 2014 lalu. Gimana dengan Kene saat ini di RSUD Larantuka. Dalam kegelisahan itu pada pukul 02.34 Handphon saya berdering ada dua pesan singkat masuk dari Stef dan Adik Bungsu saya Kanis Soge dengan isi pesan “Bapa Dolu Pekeng Tite kae pia RS”. Membaca pesan singkat ini saya langsung menelpon Stef, Kanis dan juga menantunya Kene. Hubungan lewat telpon kami lanjutkan hingga Kamis siang saat Kene di Hantar Pulang ke Lewotana tercinta Patisira Walang yang pernah Kene GELEKAT.

Akhir hanya ucapan selamat jalan Kene Dolu lewat telepon yang bisa saya lakukan karena keadaan tak memungkinkan saya harus pulang mendapatkannya untuk yang terakhir. “Kene Selamat jalan semoga menjadi Pendoa bagi kami semua yang Kene cintai dalam Peziaraan kami di Dunia yang Fana ini, spirit GELEKATMU akan kami teruskan”.


Bekasi 27 Mei 2015
Keponakanmu

Andreas Soge dan Saphira Jeanette.