Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
”Megawati adalah lembar tak
terbuka diiringi diam dan hemat kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir
kata terang biasanya didapati. Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak
dari perkataan dan retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir
kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya
lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar
jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari
yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali
atau mengucap permisi.”
Untaian
kata yang amat indah itu diutarakan Najwa Shihab di akhir bincang-bincangnya
dengan Megawati Soekarnoputri pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 22
Januari 2014. Kata-kata puitis itu sungguh menggambarkan bagaimana sosok
Megawati Soekarnoputri.
Mega
memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik
yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan
karena perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh
pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa lalu. Ia bukan sosok
pemimpin politik yang bodoh karena hanya lulusan SMA. Tak banyak orang tahu
bahwa ia dipaksa untuk tidak kuliah lagi di sebuah universitas ternama di kota
kembang oleh seorang rektor yang kebetulan sama-sama berideologi nasionalis.
Mega
mengalami manisnya kekuasaan saat ayahnya menjadi presiden pertama RI atau saat
ia sendiri menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden ke-5 RI. Namun,
ia juga mengalami betapa pedihnya saat ayahnya dan ia sendiri menjadi target
operasi dari tangan-tangan penguasa di negeri ini, baik pada era Orde Baru
maupun era Reformasi. Karena itu, jangan heran jika Mega tidak jarang melangkah
secara hati-hati.
Mega
tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di
tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria
Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku, simpan segala yang kau
tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarlah aku yang
menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan demi kesatuan,
persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Jadikanlah deritaku ini sebagai
kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang
langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan
yang Maha Esa”.
Bagi
Mega, persatuan, kesatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa adalah segalanya. Ia
tentunya juga tak lupa bait lagu ”Indonesia Raya” yang mengajak seluruh bangsa
Indonesia agar ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.
Tidaklah mengherankan jika keinginan, cita-cita, dan mata hati Mega, seperti
yang diungkapkannya kepada Najwa Shihab, adalah Indonesia Raya.
Dua
untaian kata, Indonesia Raya, sungguh merasuk kembali ke dalam kalbu rakyat
Indonesia. Ini bisa dilihat dari resonansi yang terjadi setelah Mata Najwa
ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014. Hitungan dengan Twetreach menunjukkan ada
lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia Raya, menjangkau 6,4 juta akun
Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan balik. Tayangan ulang pada 25 Januari
menambah kembali 800 resonansi pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau
700.000 Twitter, dan menghasilkan 3 juta terpaan balik.
Tahun penentuan
.Mega juga sadar 2014 adalah
tahun penentuan bagi masa depan bangsa Indonesia apakah kita mampu menyatukan
langkah untuk Indonesia Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa
Kuli” yang sebagian elite
politik dan pengusahanya menjadi komprador asing. Karena itu, menentukan siapa
calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung PDI-P bukan persoalan
gampang bagi dirinya.
Ketika tak sedikit lembaga
survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat
teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi
bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter
kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang
sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.
Seorang pemimpin bangsa yang
berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk
Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat,
melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul
Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi,
dan berkepribadian bangsa).
Tak heran apabila Mega dalam
banyak kesempatan selalu mengajak Jokowi menyambangi rakyat di sejumlah
wilayah, bukan saja sebagai bagian dari pendidikan politik buat Jokowi,
melainkan juga untuk menilai apakah Jokowi siap memimpin bangsa ini. Jokowi
memang terlalu cepat menjadi capres karena itu harus didampingi seorang
negarawan senior yang dapat diterima seluruh bangsa Indonesia. Dari berbagai
pilihan, bukan mustahil Jusuf Kalla adalah pendamping Jokowi yang paling tepat.
Mengapa Mega belum
mendeklarasikan capres/cawapres PDI-P? Ada beberapa penyebab, antara lain, Mega
tidak ingin capres/cawapres PDI-P akan menjadi sasaran tembak dari berbagai
upaya kecurangan pemilu. Kecurangan dapat saja dilakukan aparat pelaksana dan
pendukung pemilu seperti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah, aparat
pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri dan intelijen negara), dan panitia
pemilu di TPS-TPS.
Tahun pemilu ini bukan hanya
tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat membangun
kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani menyerempet bahaya
(vivere pericoloso) sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi
penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung) bagi berkembangnya
demokrasi dan kejayaan negeri ini.
Tak mau menodai pemilu
Kita tidak sedang hidup dalam
suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan penulis
Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living
Dangerously mengenai situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga
tidak dalam situasi politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam
seperti pada era 1950-an dan era Orde Baru.
Dalam konteks itu, Megawati
mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila
Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk
membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran
kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa
depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di
puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955
dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.
Apabila bacaan penulis atas
pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia
memutuskan ”bukan untuk maju kembali”, melainkan ”mengucap permisi” dan memberi
jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya.
Sumber :Kompas.com 6 Februari 2014
Foto : 1. Kompas/Hendra A. Setyawan.
2. Andreas Soge
1 komentar:
Write komentarMega adalah sebuah Rahasia
ReplyPEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.