Oleh Bonne Pukan
Hajatan Nasional pemilu
legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun depan sudah semakin
dekat. Saat ini semua kota mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga di
Jakarta sudah memulai “perang” alat peraga dari semua parpol plus para calon
baik legislatif maupun presiden. Kegigihan Badan Pengawas Pemilih (Bawaslu) di
tingkat pusat dan provinsi terutama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di
tingkat kabupaten dan Kota pusing menghadapinya..
Atribut parpol dan baliho
para caleg yang terpasang di tempat-tempat strategis memang dilarang, karena
belum waktunya sesuai aturan KPU. Panwaslu menertibakannya dengan membongkar
baliho dan atau atribut parpol lainnya yang terpasang di tempat-tempat umum
kecuali di kantor atau sekretariat Parpol masing-masing.
Namun, Panwaslu memang
hanya berhasil membongkar atribut tersebut di jalan-jalan protokol, sementara
di jalan-jalan kecil apalagi lorong-lorong pemukiman warga, alat-alat peraga
itu masih tetap terpampang.
Kita semua tentu
berharap, penyelenggaraan puncak acara pesta demokrasi lima tahunan itu dapat
berjalan lancar dan sukses. Karena itu, sungguh layak dan sepantasnya apabila
sejak jauh-jauh hari ini semua pihak concern memberikan perhatian dan dukungan
pada lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pemilu agar dapat
menjalankan tugasnya dengan baik. Lembaga-lembaga itu, misalnya, Komisi
Pemilihan Umum (KPU mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/Kota.
Kita percaya, apabila
semua lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pemilu sudah bekerja dengan baik,
maka kemungkinan munculnya konflik, gangguan, hambatan, dan kegagalan pemilu
dapat ditekan seminimal mungkin, dan hasilnya tentu pemilu yang sukses,
berkualitas, dan aman.
Pengawalan terhadap
pelaksanaan pemilu itu menjadi sebuah perhatian serius, karena ada semacam
sinyalemen yang berkembang saat ini bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 rawan
konflik, dan sumber potensi konflik itu ditengarai justru bisa berada pada
lembaga-lembaga terkait pelaksanaan pemilu.
Potensi konflik
berikutnya ada pada partai-partai politik, terutama terkait dengan proses dan
persaingan antar calon-calon anggota legislatif (caleg), baik caleg antarpartai
maupun caleg separtai. Karena itu, diharapkan masing-masing partai politik
perserta pemilu dapat mengantisasi hal itu dengan membuat aturan yang jelas dan
tegas.
Potensi konflik terakhir
ada di Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan membahas perkara
gugatan terkait
pelaksanaan pemilu. Potensi konflik di MK ini menjadi semakin serius pasca
kasus Akil Mochtar yang membuat kredibilitas dan kewibawaan MK anjlok.
Demokrasi Prabayar
Mencermati pemikiran
ekonom senior Rizal Ramli yang disampaikan pada diskusi publik bertajuk
‘Refleksi Akhir Tahun dan Menuju Perubahan Indonesia tahun 2014′ di Jakarta
beberapa waktu dalam sebuah media cetak ibu kota, ternyata sungguh menarik untuk
didiskusikan kembali lebih mendalam sesuai kondisi riil di daerah Nusa Tenggara
Timur.
Rizal Ramli yang pernah
menjabat sebagai Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid alias
Gus Dur (Almarhum) dengan tegas mengatakan, demokrasi yang kini dikembangkan di
Indonesia adalah demokrasi prabayar. Para calon pejabat membayar rakyat dengan
uang agar terpilih dan berkuasa. Akibatnya, demokrasi menjadi sangat mahal
karena sarat dengan money politic. Demokrasi prabayar juga tidak akan
menghasilkan pemimpin yang hebat yang bekerja untuk rakyatnya.
Pemikiran Rizal Ramli ini
memang benar adanya. Para calon pejabat publik, baik di eksekutif maupun
legislatif bisa melakukan praktek membeli suara rakyatnya. Padahal uang yang
mereka gunakan mungkn saja berasal dari tindakan kriminal juga, seperti
korupsi. Kalau kemudian rakyat menuntut mereka bekerja untuk bangsa, mereka
berkilah sudah ditunaikan pada waktu kampanye, yaitu saat mereka membayar Rp
100.000 untuk tiap suara yang mereka peroleh.
Praktek politik transaksional
seperti inilah yang akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Politisi yang
memiliki uang akan mudah memenangkan pertarungan politik karena dia mampu
membayar suara masyarakat hanya dengan nilai minimal Rp 50.000 untuk satu
suara.
Kenyataan di NTT memang
membenarkan pemikiran Rizal Rami itu. Kita bisa melihat dengan mata telanjang
betapa pemimpin kita di daerah ini yang memenangkan pertarungan politik hanya
dengan mengandalkan uang. Dan ketika kekuasaan sudah berada di tanganhya,
kepentingan rakyat diabaikan bahkan bisa saja rakyat diadu domba dan
terciptalah perang saudara.
Demokrasi parbayar
mengakibatkan rakyat mengalami “penderitaan” selama lima tahun. Harapan dan
bahkan tuntutan serta kepentingan rakyat akan dengan sangat muda diabaikan. Hal
itu disebabkan rakyat memilih pemimpinnya bukan karena kualitas, tapi demi
keuntungan jangka pendek yang didapat saat kampanye seperti uang dan atau
barang.
Kenyataan miris seperti
ini harus segera dihentikan dan diganti dengan demokrasi pasca bayar. Kita
memilih pemimpin kita baik eksekutif maupun legislatif dengan hati nurani kita
dengan berdasarkan kapabilitas calon yang relatif hebat dan amanah yang akan
bekerja habis-habisan untuk bangsa dan rakyat.
Sejalan dengan pemikiran
Rizal Ramli tersebut, Kanis Pari yang santer dengan sebutan Bung Kanis dalam
buku “Jangan takut berpolitik” mengatakan, politik menjadi ketrampilan putar
balik, hukum menjadi elastic dan bila perlu dilanggar, norma susila diperkosa,
hak azasi tidak berarti, hukum kafir itu menjadi panglima dan demi mencapai
tujuan, segala cara dihalalkan. Pokoknya menang, lawan politik harus tumbang.
Akibat dari semua itu
maka, sangat tidak ada manfaatnya ketika setiap kali dalam sebuah hajatan
politik orang mulai berteriak di panggung kampanye atau dimana saja bahwa Vox
Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) hanyalah sebuah bualan belaka.
Karena saat seperti sekarang ini telah bergeser menjadi Vox Populi Vox Pecuniae
(Suara Rakyat adalah suara uang), dan semakin nyatakan politik atau demokrasi
prabayar seperti yang dilecutkan Rizal Ramli.***
Sumber: FBC 18/12/2013
Foto: Bone Pukan
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.