Headlines

Rabu, 18 Desember 2013

Unknown

Pemilu dan Demokrasi Prabayar


Oleh Bonne Pukan
Hajatan Nasional pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun depan sudah semakin dekat. Saat ini semua kota mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga di Jakarta sudah memulai “perang” alat peraga dari semua parpol plus para calon baik legislatif maupun presiden. Kegigihan Badan Pengawas Pemilih (Bawaslu) di tingkat pusat dan provinsi terutama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten dan Kota pusing menghadapinya..

Atribut parpol dan baliho para caleg yang terpasang di tempat-tempat strategis memang dilarang, karena belum waktunya sesuai aturan KPU. Panwaslu menertibakannya dengan membongkar baliho dan atau atribut parpol lainnya yang terpasang di tempat-tempat umum kecuali di kantor atau sekretariat  Parpol masing-masing.

Namun, Panwaslu memang hanya berhasil membongkar atribut tersebut di jalan-jalan protokol, sementara di jalan-jalan kecil apalagi lorong-lorong pemukiman warga, alat-alat peraga itu masih tetap terpampang.

Kita semua tentu berharap, penyelenggaraan puncak acara pesta demokrasi lima tahunan itu dapat berjalan lancar dan sukses. Karena itu, sungguh layak dan sepantasnya apabila sejak jauh-jauh hari ini semua pihak concern memberikan perhatian dan dukungan pada lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pemilu agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Lembaga-lembaga itu, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/Kota.

Kita percaya, apabila semua lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pemilu sudah bekerja dengan baik, maka kemungkinan munculnya konflik, gangguan, hambatan, dan kegagalan pemilu dapat ditekan seminimal mungkin, dan hasilnya tentu pemilu yang sukses, berkualitas, dan aman.

Pengawalan terhadap pelaksanaan pemilu itu menjadi sebuah perhatian serius, karena ada semacam sinyalemen yang berkembang saat ini bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 rawan konflik, dan sumber potensi konflik itu ditengarai justru bisa berada pada lembaga-lembaga terkait pelaksanaan pemilu.

Potensi konflik berikutnya ada pada partai-partai politik, terutama terkait dengan proses dan persaingan antar calon-calon anggota legislatif (caleg), baik caleg antarpartai maupun caleg separtai. Karena itu, diharapkan masing-masing partai politik perserta pemilu dapat mengantisasi hal itu dengan membuat aturan yang jelas dan tegas.
Potensi konflik terakhir ada di Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan membahas perkara
gugatan terkait pelaksanaan pemilu. Potensi konflik di MK ini menjadi semakin serius pasca kasus Akil Mochtar yang membuat kredibilitas dan kewibawaan MK anjlok.

Demokrasi Prabayar

Mencermati pemikiran ekonom senior Rizal Ramli yang disampaikan pada diskusi publik bertajuk ‘Refleksi Akhir Tahun dan Menuju Perubahan Indonesia tahun 2014′ di Jakarta beberapa waktu dalam sebuah media cetak ibu kota, ternyata sungguh menarik untuk didiskusikan kembali lebih mendalam sesuai kondisi riil di daerah Nusa Tenggara Timur.

Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Almarhum) dengan tegas mengatakan, demokrasi yang kini dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi prabayar. Para calon pejabat membayar rakyat dengan uang agar terpilih dan berkuasa. Akibatnya, demokrasi menjadi sangat mahal karena sarat dengan money politic. Demokrasi prabayar juga tidak akan menghasilkan pemimpin yang hebat yang bekerja untuk rakyatnya.

Pemikiran Rizal Ramli ini memang benar adanya. Para calon pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif bisa melakukan praktek membeli suara rakyatnya. Padahal uang yang mereka gunakan mungkn saja berasal dari tindakan kriminal juga, seperti korupsi. Kalau kemudian rakyat menuntut mereka bekerja untuk bangsa, mereka berkilah sudah ditunaikan pada waktu kampanye, yaitu saat mereka membayar Rp 100.000 untuk tiap suara yang mereka peroleh.

Praktek politik transaksional seperti inilah yang akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Politisi yang memiliki uang akan mudah memenangkan pertarungan politik karena dia mampu membayar suara masyarakat hanya dengan nilai minimal Rp 50.000 untuk satu suara.

Kenyataan di NTT memang membenarkan pemikiran Rizal Rami itu. Kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa pemimpin kita di daerah ini yang memenangkan pertarungan politik hanya dengan mengandalkan uang. Dan ketika kekuasaan sudah berada di tanganhya, kepentingan rakyat diabaikan bahkan bisa saja rakyat diadu domba dan terciptalah perang saudara.

Demokrasi parbayar mengakibatkan rakyat mengalami “penderitaan” selama lima tahun. Harapan dan bahkan tuntutan serta kepentingan rakyat akan dengan sangat muda diabaikan. Hal itu disebabkan rakyat memilih pemimpinnya bukan karena kualitas, tapi demi keuntungan jangka pendek yang didapat saat kampanye seperti uang dan atau barang.

Kenyataan miris seperti ini harus segera dihentikan dan diganti dengan demokrasi pasca bayar. Kita memilih pemimpin kita baik eksekutif maupun legislatif dengan hati nurani kita dengan berdasarkan kapabilitas calon yang relatif hebat dan amanah yang akan bekerja habis-habisan untuk bangsa dan rakyat.

Sejalan dengan pemikiran Rizal Ramli tersebut, Kanis Pari yang santer dengan sebutan Bung Kanis dalam buku “Jangan takut berpolitik” mengatakan, politik menjadi ketrampilan putar balik, hukum menjadi elastic dan bila perlu dilanggar, norma susila diperkosa, hak azasi tidak berarti, hukum kafir itu menjadi panglima dan demi mencapai tujuan, segala cara dihalalkan. Pokoknya menang, lawan politik harus tumbang.

Akibat dari semua itu maka, sangat tidak ada manfaatnya ketika setiap kali dalam sebuah hajatan politik orang mulai berteriak di panggung kampanye atau dimana saja bahwa Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) hanyalah sebuah bualan belaka. Karena saat seperti sekarang ini telah bergeser menjadi Vox Populi Vox Pecuniae (Suara Rakyat adalah suara uang), dan semakin nyatakan politik atau demokrasi prabayar seperti yang dilecutkan Rizal Ramli.***

Sumber: FBC 18/12/2013
Foto: Bone Pukan


Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.