Saat itu lima tahun lalu, pemimpinku berkoar soal sekolah gratis, soal
kesehatan gratis. Lima tahun yang lalu dan kini bertamu lima tahun yang baru
pemimpinku kembali berkumandang, soal pelayanan yang tidak dpersulit, bebas
korupsi, gaji untuk kesejahteraan rakyat.
Lima tahun itu pemimpinku berkata siap ditemui setiap saat oleh siapapun, pintu selalu terbuka bagi masyarakat. Setiap lima tahun pergi dan datang kembali lima tahun berikutnya pemimpinku “menjual” selaksa janji seakan menjadi “Kabar gembira” bagi masyarakat lemah, miskin dan menderita, meyakinkan saya yang miskin dan terlantar ini bahwa dia adalah pemimpinku yang layak dan pantas.
Lima tahun itu sudah diraih dan dia lahir menjadi pemimpinku. Ada sejuta harapan kusematkan dipundaknya. Ada selaksa keyakinan kususun di atas kursi empuk kekuasaannya. Ada beribu mimpi kucatatkan di atas meja kerjanya. Ada serangkaian catatan janjinya kutitipkan pada lidahnya. Namun namanya lima tahun, waktu yang tak lama untuk mengubah nasib, waktu yang cukup pendek untuk bertarung dengan “takdir”, episode dari sebuah drama pelayanan menjadi perang kekuasaan. Lima tahun menjadi arena ruang penguasaan daripada pengabdian, menjadi kamar mengonani kekuasaan berselingkuh kaum pemodal, panggung menyusun strategi penindasan.
Lima tahun kemarin menjemput lima tahun yang baru, pemimpinku merasa tak cukup dengan kesederhanaannya, merasa kurang dengan kekayaannya, merasa seperti kehabisan makanan. Lima tahun menjadi sejarah mengubah nasib pemimpinku, pintu rumah yang terbuka bagi saya dan sesamaku yang miskin, sederhana dan menderita kini menjadi pagar besi dihiasi wajah-wajah sangar membentak mengusirku dalam selaksa alasan bapak tidak ada di tempat, bapak sibuk tidak bisa diganggu sambil mempertontonkan gengagaman pentung dan laras panjang. Lima tahun dalam selaksa janji memperjuangkan nasib rakyat, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme demikian warta gembira pemimpinku menjadi momentum memperpanjang litan-litani deritaku meluluhlantahkan hutanku, memporakporandakan dan merebut tanahku, mengusirku dari rahim adatku yang sekian lama menampungku dan juga melindungi pemimpinku, meracuni aliran sungaiku yang sekian lama memuaskan dahagaku dan rasa hausnya seakan menjadikan memomentum lima tahun TAK PERNAH PUAS DENGAN YANG DIMILIKI, TAPI MENJADIKAN PEMIMPINKU, PERAMPOKKU YANG SERAKAH yang malu dengan kemiskinannya, yang minder dengan sepiring makan buatnya sekeluarga.
Lima tahun yang menjadi ruang perutusan, ziarah jejak langkah pemimpinku menjengukku yang sepi, menguatkanku yang sakit, meneguhkanku yang lemah dan menderita, menghadirkan KerjaanNya sang Pencipta segala Pemimpin namun kini menjadi pemimpinku, memperpanjang sepi, sakit dan deritaku dibalik kelemahanku yang tertindas di telapak kekuasaanya. Lima tahun menjadi panggung sandiwara penindasan pemimpinku yang memaksakan kehendaknya demi mendirikan kerajaannya dan bukan melaksanakan kehendak Sang Khalik, bertahktanya Kerajaan Sang Pemimpin Ulung. Lima tahun ruang kekuasaan pemimpinku yang tak pernah bersyukur dengan miliknya namun selalu lapar dengan kerakusannya mengubah sang pemimpinku jadi perampokku. Lima tahun ziarah pemimpinku, bukan pembawa kebaikan bersama namun merampokku memperkaya diri sendiri.
Pemimpinku hanya lima tahun, majikanku mempunyai waktu yang sangat panjang. Dan bisa jadi sebagian majikankupun yang adalah rasul Kristus justru juga menjadi perampokku yang memerahku demi kekayaannya tak peduli deritaku. Maka pantas kusapamu; Pemimpinku, Perampokku, Majikanku.....Sebab yang hanya bisa bersyukur dalam penderitaan dengan merasa cukup, puas dengan yang dimilikinya menjadi Injil Kabar Sukacita yang menyembuhkan, menguatkan dan meneguhkan saya yang menderita, sakit dan lemah...
Sudah Cukup...atau...belum....?? (bdk. Amsal 30:5-9; Luk 9:1-6)
Lima tahun itu pemimpinku berkata siap ditemui setiap saat oleh siapapun, pintu selalu terbuka bagi masyarakat. Setiap lima tahun pergi dan datang kembali lima tahun berikutnya pemimpinku “menjual” selaksa janji seakan menjadi “Kabar gembira” bagi masyarakat lemah, miskin dan menderita, meyakinkan saya yang miskin dan terlantar ini bahwa dia adalah pemimpinku yang layak dan pantas.
Lima tahun itu sudah diraih dan dia lahir menjadi pemimpinku. Ada sejuta harapan kusematkan dipundaknya. Ada selaksa keyakinan kususun di atas kursi empuk kekuasaannya. Ada beribu mimpi kucatatkan di atas meja kerjanya. Ada serangkaian catatan janjinya kutitipkan pada lidahnya. Namun namanya lima tahun, waktu yang tak lama untuk mengubah nasib, waktu yang cukup pendek untuk bertarung dengan “takdir”, episode dari sebuah drama pelayanan menjadi perang kekuasaan. Lima tahun menjadi arena ruang penguasaan daripada pengabdian, menjadi kamar mengonani kekuasaan berselingkuh kaum pemodal, panggung menyusun strategi penindasan.
Lima tahun kemarin menjemput lima tahun yang baru, pemimpinku merasa tak cukup dengan kesederhanaannya, merasa kurang dengan kekayaannya, merasa seperti kehabisan makanan. Lima tahun menjadi sejarah mengubah nasib pemimpinku, pintu rumah yang terbuka bagi saya dan sesamaku yang miskin, sederhana dan menderita kini menjadi pagar besi dihiasi wajah-wajah sangar membentak mengusirku dalam selaksa alasan bapak tidak ada di tempat, bapak sibuk tidak bisa diganggu sambil mempertontonkan gengagaman pentung dan laras panjang. Lima tahun dalam selaksa janji memperjuangkan nasib rakyat, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme demikian warta gembira pemimpinku menjadi momentum memperpanjang litan-litani deritaku meluluhlantahkan hutanku, memporakporandakan dan merebut tanahku, mengusirku dari rahim adatku yang sekian lama menampungku dan juga melindungi pemimpinku, meracuni aliran sungaiku yang sekian lama memuaskan dahagaku dan rasa hausnya seakan menjadikan memomentum lima tahun TAK PERNAH PUAS DENGAN YANG DIMILIKI, TAPI MENJADIKAN PEMIMPINKU, PERAMPOKKU YANG SERAKAH yang malu dengan kemiskinannya, yang minder dengan sepiring makan buatnya sekeluarga.
Lima tahun yang menjadi ruang perutusan, ziarah jejak langkah pemimpinku menjengukku yang sepi, menguatkanku yang sakit, meneguhkanku yang lemah dan menderita, menghadirkan KerjaanNya sang Pencipta segala Pemimpin namun kini menjadi pemimpinku, memperpanjang sepi, sakit dan deritaku dibalik kelemahanku yang tertindas di telapak kekuasaanya. Lima tahun menjadi panggung sandiwara penindasan pemimpinku yang memaksakan kehendaknya demi mendirikan kerajaannya dan bukan melaksanakan kehendak Sang Khalik, bertahktanya Kerajaan Sang Pemimpin Ulung. Lima tahun ruang kekuasaan pemimpinku yang tak pernah bersyukur dengan miliknya namun selalu lapar dengan kerakusannya mengubah sang pemimpinku jadi perampokku. Lima tahun ziarah pemimpinku, bukan pembawa kebaikan bersama namun merampokku memperkaya diri sendiri.
Pemimpinku hanya lima tahun, majikanku mempunyai waktu yang sangat panjang. Dan bisa jadi sebagian majikankupun yang adalah rasul Kristus justru juga menjadi perampokku yang memerahku demi kekayaannya tak peduli deritaku. Maka pantas kusapamu; Pemimpinku, Perampokku, Majikanku.....Sebab yang hanya bisa bersyukur dalam penderitaan dengan merasa cukup, puas dengan yang dimilikinya menjadi Injil Kabar Sukacita yang menyembuhkan, menguatkan dan meneguhkan saya yang menderita, sakit dan lemah...
Sudah Cukup...atau...belum....?? (bdk. Amsal 30:5-9; Luk 9:1-6)
Kesunyian Urup Ampah: Rabu, 26 September 2012
Lie Jelivan msf
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.