Persoalan kita terutama bukan tentang jumlah kekuasaan yang menumpuk pada presiden, tetapi motif penumpukannya. Aburizal Bakrie tentu berkepentingan dengan mesin kekuasaan itu, sama halnya Presiden berkepentingan dengan figur Aburizal Bakrie. Sebagai Ketua Golkar, Bakrie adalah faktor dalam stabilitas politik. Presiden tentu memerlukannya. Tetapi Bakrie juga adalah pengusaha besar. Ia tentu berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan strategis negara. Jadi, apakah sesungguhnya tali pengikat koalisi besar itu? Suatu strategi Indonesia sejahterakah? Atau semata-mata ia hanyalah manuver taktis yang dasarnya adalah tukar-tambah politik intra elit, yang sama-sama terlilit oleh kepentingan-kepentingan taktis jangka pendek?
Di dalam sejumlah keterangan
pers, pihak Presiden dan Aburizal Bakrie secara senada menyebutkan maksud mulia
dari pembentukan Koalisi Besar itu. Tetapi keterangan politik tentu harus
dibaca secara terbalik.
Politik Indonesia hari ini,
tidak ditentukan di Parlemen, melainkan di dalam jaringan Kartel
Bisnis-Politik. Yaitu jaringan yang dikuasai oligarki kepentingan jangka
pendek, yang melihat politik semata-mata sebagai pasar gelap, tempat kekuasaan
didagangkan di belakang hukum. Apa akibatnya pada kebijakan publik?
Kebijakan publik adalah peralatan negara untuk menyelenggarakan keadilan sosial. Dengan prinsip itu Pemerintah bermanuver mengatasi rintangan dan kepentingan politik partai-partai. Tetapi di dalam pasar gelap politik, kebijakan publik tidak dapat mencapai tujuan etisnya, yaitu keadilan sosial, karena kontrol terhadap pembuatan kebijakan tidak lagi dimungkinkan.
Kartel bisnis-politik adalah struktur bawaan orde baru yang masih kuat bercokol dalam sistem ekonomi-politik hari ini. Ia menghasilkan mega-korupsi, manipulasi pajak dan jual-beli proses legislasi. Pada pemerintahan hari ini, kartel itu tumbuh karena keragu-raguan presiden dalam berhadapan dengan para pelaku politik pasar gelap. Tapi mungkin juga karena kekuasaan presiden selama ini memang diasuransikan di dalam kartel itu.
Bisnis yang berkompetisi dengan memakai peralatan kartel , pasti tidak peduli terhadap aspek efisiensi, karena keuntungan dapat dicapai tanpa perlu masuk dalam kompetisi pasar yang sehat. Inilah hambatan politik keadilan sosial dan keadilan berbisnis.
Reformasi birokrasi adalah upaya politik untuk memastikan bahwa kebijakan publik hanya dilaksanakan demi kepentingan "yang publik". Dan itu berarti bahwa reformasi birokrasi juga dimaksudkan untuk menghalangi aktivitas kartel.
Indonesia yang bermutu memerlukan pemerintahan yang teguh dan bersih. Yaitu pemerintahan yang mengucapkan politik sebagai pemenuhan keadilan sosial, karena demi itulah kebijakan publik diselenggarakan.
Kekuasaan itu akhirnya menggelembung. Koalisi taktis Presiden dan Aburizal Bakrie mungkin dapat mengakhiri berbagai kontroversi politik selama ini. Faktor Sri Mulyani telah teratasi. Politik sejenak stabil, ekonomi masih bertumbuh. Tetapi persoalan kini adalah: bertumbuhkah demokrasi kita bila kebijakan publik tidak dapat diawasi oleh publik?
Paseban Barat; 12 September 2013
Andreas Soge
2 komentar
Write komentarSenang menyimak tulisan cerdasnya pak Rocky.thanks
ReplyPEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.