Menyebut nama tempat yang satu ini saya menerawang jauh karena tempat ini memberi memori tersendiri dimana saya berinteraksi dengan begitu banyak perantau dari segala penjuru Nusantara bahkan orang asing yang bekerja pada PT. KALTIM PRIMA COAL. Dalam kerja KONSOLIDASI ke Kalimanatan Timur rencana awalnya hanya di Kota Samarinda, ini dikarenakan Kota ini adalah Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur. Berhubung saat saya sampai dan keesokan harinya Selasa 9 Oktober 2012 Pastor Kopong yang menjadi kontak person saya merambah Kalimantan Timur masih ada kegiatan pertemuan Para Imam MSF di Balikpapan maka waktu senggang itu saya gunakan untuk melakukan kunjungan ke Keuskupan Agung Samarinda guna bertemu dengan sahabat lama sekaligus senior saya Pak Agustinus Koten.
Saat berdiskusi dengan Pak Agus Koten muncul inisiatip kenapa tidak sekalian ke Sangatta agar misi Konsolidasi ini bisa juga dilakukan di kabupaten Kutai Timur. Dengan berbekal pernah kerja dan tinggal di Sangatta 3 tahun saya berangkat ke Sangatta dengan menumpang Bus Arafat dari terminal Bus Lempake. Perjalanan ini ditempuh dalam waktu 4 jam, dalam perjalanan ada kerinduan yang mendalam melihat Hutan dengan pohon besar sepanjang jalan Bontang Sangatta dimana ada Taman Nasional Kutai namun kerinduan tinggal kerinduan karena Hutan lindung yang 17 tahun lalu saya saksikan dan nikmati saat melakukan perjalanan dengan Bus dari Sangatta maupun dari samarinda telah tergusur diganti perkebunan Kelapa Sawit maupun Karet. Yang ada hanya papan – papan pengumuman yang mengumumkan “ANDA MEMASUKI TAMAN NASIONAL KUTAI” diam – diam saya menertawai tulisan yang ada di Papan pengumunan tersebut.
Saat berdiskusi dengan Pak Agus Koten muncul inisiatip kenapa tidak sekalian ke Sangatta agar misi Konsolidasi ini bisa juga dilakukan di kabupaten Kutai Timur. Dengan berbekal pernah kerja dan tinggal di Sangatta 3 tahun saya berangkat ke Sangatta dengan menumpang Bus Arafat dari terminal Bus Lempake. Perjalanan ini ditempuh dalam waktu 4 jam, dalam perjalanan ada kerinduan yang mendalam melihat Hutan dengan pohon besar sepanjang jalan Bontang Sangatta dimana ada Taman Nasional Kutai namun kerinduan tinggal kerinduan karena Hutan lindung yang 17 tahun lalu saya saksikan dan nikmati saat melakukan perjalanan dengan Bus dari Sangatta maupun dari samarinda telah tergusur diganti perkebunan Kelapa Sawit maupun Karet. Yang ada hanya papan – papan pengumuman yang mengumumkan “ANDA MEMASUKI TAMAN NASIONAL KUTAI” diam – diam saya menertawai tulisan yang ada di Papan pengumunan tersebut.
Sampai di Sangatta mulai gelap maka dengan menggunakan angkutan Kota saya menuju Sangatta Baru dimana Saudara Sepupu saya Abang Yoseph Soge tinggal. Dalam hati memang ada beban yang mengganjal karena sebelumnya juga ada permintaan dari adik Dominic Wujun agar malam itu saya bisa nginap ditempatanya agar bisa lebih banyak berdiskusi. Adik Dominic Wujon sempat mengirim orang untuk menjemput saya di terminal Bus agar mempermuda perjalanan saya namun ketika jemputan itu datang saya sudah berangkat menggunakan angkutan umum. Dalam komunikasi selanjutnya saya memutuskan untuk nginap di rumah Abang Yoseph Soge karena malam itu juga harus ke Kampung Kabo karena disana telah menunggu Om Sarilus Manuk dan Tante Prada yang selama 3 tahun di Sangatta mereka menampung dan mengurus saya seperti anak mereka sendiri.
Setelah makan malam kira – kira pukul 22.00 kami (saya, Sepupu dan Istrinya) menuju kampung Kabo ke Rumah Om Sarilus Manuk. Rumah dimana tiga tahun saya menetap dan tidak sekedar menetap namun merasa bak keluarga sendiri. Karena sudah cukup lama berpisah kami menggunakan waktu yang singkat itu untuk melepas rasa kangen dengan bercerita kisah – kisah dahulu ketika masih bersama. Saat saya ditanya apa gerangan yang menggerakan saya sehingga mau datang ke Kalimantan Timur khusus ke Sangatta saya menjelaskan dalam rangka tugas konsolidasi Oragnisasi. Mendengar itu semua bertanya Konsolidasi apa? Ketika saya menjawab dengan menyebut nama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) serempak semua yang ada bertanya apa itu SBMI? Dengan pengetahuan yang saya miliki saya berusaha menjelaskan semampu yang saya bisa. Dari obrolan ini saya direkomendasikan nomor kontak Pak Ambros Tukan yang saat ini berdomisili di Nunukan.
Dari obrolan dan sorot mata Tante Prada saya melihat beliau mengharapkan agar saya beberapa hari di Sangatta. Mungkin merasa saya tidak memahami isi hati mereka, maka pertanyaan berapa lama saya di Sangatta meluncur dari mulut Tante Prada orang yang telah saya anggap sebagai Ibu sendiri walau bukan terlahir dari kandungannya. Walaupun berat rasanya namun saya harus menyampaikan bahwa saya hanya semalam di Sangatta karena keesokan harinya harus kembali ke Samarinda.
Mendengar itu mereka sangat kecewa namun masih memahami, ditengah obrolan kami Tante Prada bangun dan beranjak ke Dapur, dari Dapur beliau berteriak sini lihat meja yang pernah kamu pukul saat marah masih terawatt dengan baik. Awalnya saya kira Tante hanya sekedar mengembalikan memori saya 17 tahun yang lalu namun ternyata benar adanya. Selain ingin menunjukan meja yang masih terawat ternyata beliau sedang menyiapkan makan malam buat kami dengan lauk kesukaan saya selama saya di Rumah ini yakni Ikan Kuah Asam.
Walau sudah makan malam di Rumah Sepupu saya di Sangatta Baru namun karena suguhan dibarengi kerinduan mendalam dan tergoda lauk kesukaan maka kami mencicipi hidangan yang disiapkan Tanta Prada. Ditengah – tengah makan malam dan obrolan kami, datang seorang anak muda yang tidak saya kenal namun setelah berkenalan ternyata putera Om Sarilus (No Rian Manuk) yang dulu sering saya gendong. Ada kenangan tersendiri saya dengan No Rian yakni ketika hari pertama dia masuk TK saya sempat memotretnya dan ternyata Foto hasil potretan saya itu masih tersimpan. Sayangnya karena keesokan harinya No Rian harus masuk kerja pagi sehingga kesempatan berdikusi dengan No Rian tidak seperti yang saya harapkan.
Berhubung keesokan harinya saya harus kembali ke Samartinda maka malam itu kami gunakan melepas kangen dengan ngobrol hingga pukul 02.00 dini hari. Dalam obrolan itu Tanta Prada dan Om Sarilus menanyakan apakah saya sudah berkeluarga atau belum, dengan berat hati saya menjawab bahwa hingga saat ini saya belum berkeluarga namun doakan karena tanggal 20 Oktober 2012 ini saya melamar perempuan pujaan hatiku. Mendengar itu semua terdiam karena apa mungkin seorang pengembara bisa jatuh hati dan memutuskan untuk menetap membangun keluarga. Ketika melihat semua diam saya menyambung pembicaraan bahwa mungkin sudah saatnya pengembaraan ini menemukan tempat untuk pulang.
Dari obrolan dan sorot mata Tante Prada saya melihat beliau mengharapkan agar saya beberapa hari di Sangatta. Mungkin merasa saya tidak memahami isi hati mereka, maka pertanyaan berapa lama saya di Sangatta meluncur dari mulut Tante Prada orang yang telah saya anggap sebagai Ibu sendiri walau bukan terlahir dari kandungannya. Walaupun berat rasanya namun saya harus menyampaikan bahwa saya hanya semalam di Sangatta karena keesokan harinya harus kembali ke Samarinda.
Mendengar itu mereka sangat kecewa namun masih memahami, ditengah obrolan kami Tante Prada bangun dan beranjak ke Dapur, dari Dapur beliau berteriak sini lihat meja yang pernah kamu pukul saat marah masih terawatt dengan baik. Awalnya saya kira Tante hanya sekedar mengembalikan memori saya 17 tahun yang lalu namun ternyata benar adanya. Selain ingin menunjukan meja yang masih terawat ternyata beliau sedang menyiapkan makan malam buat kami dengan lauk kesukaan saya selama saya di Rumah ini yakni Ikan Kuah Asam.
Walau sudah makan malam di Rumah Sepupu saya di Sangatta Baru namun karena suguhan dibarengi kerinduan mendalam dan tergoda lauk kesukaan maka kami mencicipi hidangan yang disiapkan Tanta Prada. Ditengah – tengah makan malam dan obrolan kami, datang seorang anak muda yang tidak saya kenal namun setelah berkenalan ternyata putera Om Sarilus (No Rian Manuk) yang dulu sering saya gendong. Ada kenangan tersendiri saya dengan No Rian yakni ketika hari pertama dia masuk TK saya sempat memotretnya dan ternyata Foto hasil potretan saya itu masih tersimpan. Sayangnya karena keesokan harinya No Rian harus masuk kerja pagi sehingga kesempatan berdikusi dengan No Rian tidak seperti yang saya harapkan.
Berhubung keesokan harinya saya harus kembali ke Samartinda maka malam itu kami gunakan melepas kangen dengan ngobrol hingga pukul 02.00 dini hari. Dalam obrolan itu Tanta Prada dan Om Sarilus menanyakan apakah saya sudah berkeluarga atau belum, dengan berat hati saya menjawab bahwa hingga saat ini saya belum berkeluarga namun doakan karena tanggal 20 Oktober 2012 ini saya melamar perempuan pujaan hatiku. Mendengar itu semua terdiam karena apa mungkin seorang pengembara bisa jatuh hati dan memutuskan untuk menetap membangun keluarga. Ketika melihat semua diam saya menyambung pembicaraan bahwa mungkin sudah saatnya pengembaraan ini menemukan tempat untuk pulang.
Setelah puas walau kepuasaan itu tidak kami peroleh saat itu sebab waktunya terlalu pendek namun keadaan membuat kami harus berpisah. Kepulangan saya beserta Abang Yoseph dan Istrinya ke Sangatta Baru menyisakan kenangan yang tidak sempat terselesaikan karena waktu yang membatasi.
Sesampainya kami di Sangatta Baru Kaka Ipar menyiapkan kamar tidur untuk saya melepas lelah sejenak sebelum melanjutkan perjalan kembali ke Samarinda keesokan harinya. Dari kamar yang disiapkan saya mengetahui bahwa rumah Abang Yoseph ternyata sudah mengalami renovasi dengan tujuan menjadi tempat Kost. Keeokan hari ketika bangun ternyata kopi sudah disiapkan setelah ngopi dilanjutkan sarapkan pagi. Dengan pengalaman perjalanan sehari sebelumnya dari Samarinda ke Sangatta maka saya memutuskan menggunakan Travel untuk kembali ke Samarinda.
Seperti telah saya ceritakan diatas bahwa sebelum ke Sangatta saya sempat berkomunikasi dengan Ade Dominic Wujon untuk bisa bertemu agar bisa melakukan diskusi selama saya di Sangatta, namun karena ketika jemputan yang dikirim Ade Dominic sampai di Terminal saya sudah menggunakan angkutan Umum menuju ke Sangatta Baru ke kediaman Abang Yoseph Soge maka keinginan berdiskusi dengan beliau malam itu akirnya tidak kesampaian.
Untuk membayar kegagalan berdikusi dengan Ade Dominic maka pagi itu sebelum ke Samarinda saya berusaha bertemu dengan beliau. Keinginan bertemu dengan Ade Dominic akirnya terpenuhi walaupun hanya sebentar itupun di Jalan dalam perjalanan ke Samarinda, agar ada kenang – kenangan bertemu dengan beliau maka saya minta temanya Ade Dominic mengabadikan moment itu dengan memotret kami berdua. (Bersambung)
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.